Tidak semua fenomena-fenomena itu baru tersurat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Namun demikian, Al-Qur’an dan Hadits sudah memberikan pedoman umum berkaitan dengan hal itu, di antaranya ketentuan bahwa sesuatu yang belum mendapatkan legimitasi hukum dari Al-Qur’an dan Al-Hadits hukumnya mubah. Artinya tidak diperintahkan dan tidak dilarang. Hukumnya diserahkan kepada maslahat manusia. Jika hal itu memberikan implikasi positif, maka dianjurkan. Sebaliknya, jika memberikan Implikasi negatif, maka dilarang.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan beberapa kewajiban. Janganlah kalian lalaikan. Allah SWT pun telah menentukan larangan. Jangan kalian terjang. Allah WST pula telah memberikan batasan-batasan atas segala sesuatu. Jangan sampai kalian sebagai rahmat dan keringanan bagi kamu-dan itu bukan lalai-, maka hendaknya kalian jangan mencari-cari hukumnya.” (HR Daruquthni)
Dari Salman RA Berkata, ”Allah SWT telah menghalalkan yang halal dan mangharamkan yang haram. Jadi yang halal hukumnya halal dan yang haram hukumnya haram. Adapun sesuatu yang belum mendapatkan legimitasi hukum, maka (bisa) ditolerir - (HR Baihaqi)
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda: Dari Salman Al-Farisi ra. “Kami telah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang minyak samin, keju dan kedelai, lalu baliau menjawab: yang halal adalah yang telah dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, yang haram adalah yang telah di haramkan di dalam kitab-Nya, adapun sesuatu yang didiamkan hukumnya dima’fu (ditolerir)”. (HR Baihaqi)
“Sahabat Ali bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimanakah bila datang kepada kami sesuatu yang tidak turun di dalam Al-Qur’an, juga tidak ada dijelaskan dalam Sunah Tuan? Rasulullah SAW menjawab; Musyawarahkan hal itu bersama orang-orang yang ahli ibadah dan orang-orang yang mu’min, jangan engkau memutuskan sesuatu itu hanya dengan akal saja.” (HR. At-Thabrani)
Imam Ghazali juga memberikan sikap yang sangat cantik dalam menyikapi sesuatu tindakan yang belum dikenal pada masa Rasulullah SAW, dengan mengembalikan kapada pendapatnya ulama. Di bawah ini kutipan Ghazali pada atsar:
“Ketika dikatakan kepada Rasulullah SAW, “Apa yang harus kami perbuat manakala ada perintah dan kami menemukan (hukum)nya baik dalam Al;-Qur’an atau Al-Hadis? “Rasulullah SAW menjawab, “bertanyalah kepada orang-orang shaleh yang telah dijadikan sebagai petunjuk di antara mereka”. Dalam riwayat lain, “Ulama dhahir adalah perhiasan bumi dan langit . Sedangkan ulama bathin penghias langit dan alam malakut”. (Ihya’ Ulumuddin, jilid1, hal. 22)
Ibnu Ajibah, dalam tafsirnya al-Bahrul Madid, mengutip atsar yang senada dengan sikapnya imim Ghazali, yaitu bila datang pada kita sesuatu yang belum mendapat legalitas Al-Kitab dan As-Sunnah, maka hendaknya dikembalikan kepada para ulama’ sebagai bahan musyawarah untuk mencari solusi terbaik dan kemaslahatan bagi masyarakat setempat.
“Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, Bagaimana kalau terjadi perselisihan pada kami setelah tuan ada dan tidak kami ketemukan di kitab Allah, tidak juga Sunah Rasulullah? Beliau menjawab: “Kembalikanlah permasalahan kepada pendapat orng-orng shaleh dan jangan melanggar pendapatnya.” (Al-Bahrul Madid, Jilid 2, hal. 194).
Dengan demikian segala sesuatu yang belum terdapat dalam Al-Quran dan Al-hadis, hukumnya ‘diserahkan’ kepada ulama untuk bahan ijtihad, mencari hukum yang sesuai dengan keadaan dan maslahat bagi masyarakat setempat. Bukan malah di jauhi dan diklaim bid’ah, karena mengada-ada yang tidak di temukan dalam Al-Qur'an dan hadits. Orang-orang shaleh yang dimaksud adalah ulama-ulama mujtahidin yang mempunyai kompetensi keilmuan yang mumpuni.
Dalam berijtihad masing-masing ulama mempunyai blue printyang berbeda. Namun, secara substansial, para ulama tetap melandaskan ijtihad kepada dasar-dasar yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Dalam hal tidak adanya legimitasi syara’, amalan-amalan yang tidak dijalankan atau bahkan ditinggalkan Rasulullah SAW tidak berarti otomatis dilarang, baik bersifat makruh atau haram. Coba kita menerungi sejenak fenomena kontemporer yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari dan beberapa riwayat tentang kehidupan Nabi berikut ini:
Di era global yang serba canggih ini, kita tentu menemukan banyak sekali hal-hal baru yang belum pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW, sahabat tabi’in atau bahkan tabi’it tabi’in. Apakah kemudian kita akan mengatakan bahwa semua yang belum pernah ada pada zaman mereka harus kita tinggalkan?
Kalau kita katakan bahwa sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah SAW harus kita tinggalkan juga, berada juta hal ‘haram’ yang sudah kita lakukan, baik dari segi ibadah ataupun non-ibadah? Misalnya, pada zaman Rasulullah SAW, fenomena shalat tarawih tidak dikemas seperti yang sekarang kita lihat di masjidil haram. Pelaksanaan shalat tarawih di sana sekarang kita lihat menggunakan sesuatu yang serba elektronik; pengeras suara, listrik, pendingin ruangan (AC), dan lain-lain.
 |
Acara Syukuran |
Contoh lain pada sisi non-ibadah. Bukanlah Rasulullah SAW terkenal dengan kesahajaan dan kesederhanaannya? Beliau tidak baju mahal dan elegan. Sekarang, berapa ratus juta muslim di dunia yang mengenakan baju-baju bermerk? Apakah akan kita katakan juga bahwa itu sebuah perilaku haram yang telah manjadi budaya? Tentu saja tidak.
Kalau kita cermati dalil-dalil baik dari Al-Quran dan Al Hadis, pendapat ulama tampak sekali bahwa Allah SWT tidak pernah menghitamputihkan legimitasi sebuah hukum. Silahkan kita kaji persoalan yang ada sesuai dengan kaidah-kaidah fikih yang telah ditetapkan semenjak lama. Jadi, janganlah kita membelanggu diri dalam beragama dengan mengharamkan semua persoalan-persoalan yang belum dilegimitasi syara’.
Marilah kita telisik beberapa sebab; kenapa Rasulullah SAW meninggalkan perkara tertentu? Apakah seluruhnya karena diharamkan Allah SWT atau karena alasan tertentu, misalnya Rasulullah SAW tak mau makan makanan tertentu karena memang tak selera dan sama sekali bukan karena haram –seperti orang Indonesia disuruh makanan mukhalil (makanan khas Mesir) yang agak gimana gitu rasanya. Mari kita perhatikan beberapa riwayat berikut ini:
a.) Adakalanya, Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu karena hal itu belum pernah ia makan atau mencicipi sebelumnya. Maka ketika dihidangkan dihadapinya dan dipersilahkan untuk dimakan beliau tak berselera. Misalnya tentang penolakan Rasulullah SAW makan daging dhab (nama binatang). Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Abbas RA.
b. Adakalanya, Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu karena beliau terlupa. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Rasulullah SAW lupa melakukan sujud sahwi sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud RA.
c. Adalakanya, Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu dikarenakan beliau takut –jika itu dilakukan secara terus-menerus umat akan menyangka bahwa aktifitas Rasulullah SAW itu sebuah kewajiban- yang harus dikerjakan umatnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah melakukan jamaah sholat taraweh hanya 4 (empat) kali di bulan Ramadhan. Lainnya beliau lakukan sendiri di rumah.
Dan masih banyak lagi hal-hal yang ditinggalkan Rasulullah SAW yang tidak karena diharamkan Allah, tapi lebih karena, misalnya lupa, khawatir atau tak selera karena tak terbiasa.
Olah karena itu merilah kita tunaikan ibadah ajaran-ajaran Islam secara proporsional. Hal-hal yang sudah jelas-jelas wajib, harus ditunaikan yang haram, harus ditinggalkan; yang sunah lebih utama ditunaikan dan yang makhruh lebih baik ditinggalkan; yang mubah boleh ditunaikan dan boleh di tinggalkan. Ketentuan tentang ini semua telah diatur secara rapi dalam Al-Qur’an, Al-Hadis dan ketentuan-ketentuan detil yang dihasilkan dari ijtihad para ulama.
Sedangkan fenomena-fenomena baru, yang belum mendapatkan legimitasi hukum dari Al-Qur’an atau Al-hadis hukumnya mubah. Artinya, tidak diperintahkan dan tidak dilarang. Lantas bagaimana ? Hukumnya diserahkan kepada maslahat manusia. Jika hal itu memberikan implikasi positif, maka dianjurkan. Sebaiknya, jika memberikan implikasi negatif, maka dilarang. Dalam hal ini dikembalikan kepada ijtihad ulama yang berkompeten dan beberapa ulama mengkatagorikan hal ini sebagai tindakan bid’ah yang hasanah atau hal baru yang baik.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU